Monday, December 19, 2011

Media Sosial Sebagai Nabi Baru

Saat ini perkembangan media sosial (Social Media) semakin pesat dan bertumbuh kembang laiknya tanaman-tanaman bibit unggul yang bertumbuh sangat cepat, dan sangat pasti di tanah yang subur dan selalu dipupuki. Pesatnya media sosial tentu akan membawa dampak menguntungkan sekaligus merugikan, tergantung siapa dan dari sudut pandang mana ia melihatnya. Cotoh kecil saja, media sosial akan sangat mungkin merugikan dan mengambil alih peran promosi lewat media cetak, melangkahi fungsi salesman atau salesgirl, walau tentu saja ini belum sepenuhnya benar dan diakui banyak pihak. Belum lagi dampaf negatif bagi para pengguna belia, yang banyak memanfaatkan media sosial secara serampangan dan asal-salan. Untuk banyak tujuan tidak berfaedah.

Tapi perkembangan pesat media sosial juga pada sisi lain akan sangat menguntungkan para pegiat di bidang ini, termasuk mereka yang menjadikan sarana ini sebagai “alat untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin”, katakanlah para online marketer, baik secara perusahan maupun individually. Juga yang kerjaan sehari-hari adalah penggerak media sosial. Semakin besar lahan ini, semakin menguntungkan mereka.

Nah, lalu apakah peran ini bisa disikapi secara bijaksana dan serius oleh para pelakunya? Itu juga tentu saja akan menjadi pertanyaan setiap kita. Terkadang kepesatan pertumbuhan media sosial tidak diiringi kesiapan mental dan wawasan para pelakunya, oleh karena itu jangan heran kalau banyak juga menuai hal-hal negatif di balik euphoria social media ini. Secara signifikan ia kadang terlalu meroket sampai-sampai menawarkan sesuatu yang utopis, terlalu tinggi untuk digapai dan dipraktikkan. Tapi juga ada kalanya ia begitu membumi, sampai-sampai tukang bakso dan tukang ojek pun merasakan manfaatnya dengan sangat.

Hati-hati Kekeliruan Dalam Berbahasa Inggris

Bahasa bukan hanya serentetan kata yang membentuk sebuah kalimat yang dimengerti. Bahasa ternyata juga adalah alat representasi sebuah adat, sebuah budaya, sebuah negara atau komunitas tertentu. Cara berpikir, dan kebiasaan-kebiasaan dapat juga terlihat dari bahasa (language) dan the way people talk. Dengan kata lain juga, bahwa menerjemahkan suatu bahasa tidaklah segampang yang kita kira. Sebaliknya juga, betapa bahasa sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi di atas tadi. Karena itu saya yakin bahwa it’s not that easy to master one language.

Beberapa hari yang lalu saya menonton acara TVRI tentang menggunakan Bahasa Indonesia. Acara yang bagus, mengajak kita untuk menggunakan dan mencintai Bahasa Indonesia. Acara itu dipandu oleh 3 wanita cantik (termasuk Mbak Maudy Koesnadi) dan seorang bapak sebagai nara sumbernya. Mereka membahas dan mengkritisi tentang berbagai penggunaan bahasa asing di beberapa restaurant di Indonesia. Bahwasanya, alangkah lebih eloknya kalau semua kata-kata bahasa asing itu disebutkan saja dengan padanan kata Bahasa Indonesianya. Seperti dinning room seharusnya ruang makan. Atau welcoming drink yang seharusnya ada padanan bahasa Indonesianya, misalnya saja dengan menyebutnya sebagai minuman penyambutan. Appetizer mestinya disebut saja sebagai pemancing selera. Main menu (atau kalau di Amerika main course) padanannya juga ada, yaitu menu makanan utama. Nah, lucunya ada seorang pembawa acara wanita keliru menyebut makanan penutup atau hidangan akhir sebagai desert bukannya dessert (baca: disert). Padahal desert itu artinya gurun. Pelafalan itu penting, sebab banyak kekeliruan terjadi karena salah eja, salah tulis, salah kutip, ataupun salah mengartikan.

White House for Protest?

Banyak pilihan untuk berwisata. Apapun dan kemanapun pilihan kita, tentu saja ada alasan masing-masing kenapa pilihan tersebut kita ambil. Kali ini saya ingin mengajak Anda untuk mengunjungi Gedung Putih (White House), yang merupakan tempat nomor satu di Amerika. Ia menjadi nomor satu, karena di tempat inilah semua presiden Amerika ‘bekerja’ dan tinggal secara bergantian. Di bawah atap gedung inilah orang nomor satu itu berteduh.

Gedung ini menjadi menarik bukan hanya karena arsitekturnya yang bergaya Georgia Neoklasik, tapi juga kejadian-keadian di seputaran gedung ini. Gedung yang sudah berdiri selama tidak kurang dari 200 tahun ini tepatnya berada di Pennsylvania Avenue. Washington DC. Menurut catatan, bahwa yang menjadi arsitek pembangunan gedung ini adalah seorang warga Amerika keturunan Irlandia bernama James Hoban.


Nah, di dalam gedung putih ini ada ruangan yang dinamakan Blue Room. Ruangan ini dikenal juga sebagai pusat dari Lantai Negara. Selama bertahun-tahun, bentuk oval dari ‘Ruang Biru’ selalu saja menarik perhatian siapapun yang melihatnya. Secara turun temurun Blue Room ini telah  menjadi tempat spesial bagi presiden untuk secara resmi menerima tamu. Atau juga kunjungan resmi dari kepala-kepala negara dan pemerintahan negara lain.

Lalu di ruang mana orang nomor satu di Amerika itu bekerja? Ada sebuah ruang bernama Oval Office, di situlah tempat yang menjadi kantor pribadinya. Ruang ini terletak di tengah West Wing, dari sini juga presiden bisa langsung masuk ke Ruang Kabinet. Kalau ada pidato khusus yang sering ditayangkan TV, hampir selalu mengambil tempat di ruangan kerjanya itu. Icon keseluruhan gedung putih sebenarnya ada di Oval Office ini.
Semenjak beberapa tahun terkahir, jarak kunjungan wisatawan semakin dibatasi. Tapi bagi para wisatan mungkin saja itu bukan soal, sebab masih banyak tempat wisata lainnya di seputaran DC yang tak kalah menarik. Bahkan bagi saya, mengunjungi gedung putih tidak melulu adalah untuk melihat gedungnya. Yang lebih menarik adalah apa yang sedang terjadi di sekitarnya.