Tuesday, April 29, 2014

Membuat Judul Tulisan

“If you wait for inspiration, you’re not a writer, but a waiter.”
Saya ingin kembali menulis ah! Sebab seperti ujar-ujar di atas yang bilang begini, bahwa jika Anda menunggu inspirasi datang dulu baru menulis, maka Anda bukanlah seorang penulis melainkan seorang penunggu. So, jangan tunggu, menulislah. Maka dari itu saya ingin menulis tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan tulisan. Yaitu tentang judul pada sebuah tulisan.

Isi sebuah cerita terpampang pada judulnya. Judul adalah wahana untuk meneropong isi. Oleh karenanya, memberi judul pada sebuah tulisan sangatlah penting. Judul adalah objek paling awal yang menuntun calon pembaca mau membaca isinya atau tidak. Memilih dan memberi judul ibarat memberi ‘nafas kehidupan’ awal pada sebuah tulisan. Lho kok? Lha iya. Kalau umpamanya judul kurang atau tidak menarik sama sekali, dan kemudian tidak ada yang baca, ya artinya tidak ada kehidupan dari segi pembaca. Padahal isinya bisa jadi sangat menghidupkan dan amat berbobot. Kira-kira seperti itu.

Orang dinilai dari penampilan pertamanya. Ketika kita bertemu seseorang maka penilaian pertama yang muncul adalah lewat penampilan kita, pakaian yang kita pakai, dan bahasa tubuh kita. Sebuah tulisan dinilai pertama kali adalah dari judulnya. Judul melahirkan antisipasi dan ekspektasi. Ia juga, sangat mungkin akan melahirkan rasa tertarik dan rasa tidak tertarik. Artinya orang bisa jadi tidak suka membaca isi tulisan, karena melihat judul yang hambar. Dengan judul juga, dapat menuntun seseorang untuk membuka isinya, atau tidak.
Judul tulisan juga ibarat sihir. Ia dapat menyihir calon pembaca untuk membuka dan membaca isi tulisan. Judul yang menyihir, adalah sebuah keniscayaan bila kita ingin tulisan kita dibuka dan dibaca.
Coba sekarang mari kita lihat, kira-kira mana dari ketiga judul novel ini yang sangat merangsang dan menantang untuk dibaca?
The World’s Room
They Who Get Shot
A Farewell to Arms

Seorang penulis terkenal Ernest Hemingway memilih dan yakin bahwa judul novel yang pertama dan kedua adalah yang menarik. Dan dari dua judul itulah kemudian ia akan memilih salah satu yang paling menarik. Bukankah ia benar? Karena memang judul ketiga, A Farewell to Arms kurang menarik, kurang menggigit, dan kurang merangsang dibanding dua judul pertama.

Sunday, April 20, 2014

Caleg Gagal yang Siap Jadi Gila



1397475443421828777
Caleg Gila? (source: www.lugasberita.com)

“I am free, no matter what rules surround me. If I find them tolerable, I tolerate them; if I find them too obnoxious, I break them. I am free because I know that I alone am morally responsible for everything I do.” ― Robert A. Heinlein
Setiap kita mesti bertanggungjawab atas apa yang telah kita buat. Hanya kita, yang harus mempertanggungjawabkan kepada Tuhan apa yang sudah kita buat, yang kita sementara buat, dan akan buat nantinya. We are morally responsible for everything we do. Semua kegilaan kita yang menyeruak muncul akibat frustasi dan depresi, adalah juga tanggungjawab kita, bukan orang lain.
Pemilu legislatif sudah usai, dan sampai sekarang, sedikit demi sedikit mulai bermunculan ke permukaan berbagai caleg gagal yang jadi caleg gila, atau yang akan segera jadi caleg gila. Pastinya, belum ada data resmi berapa banyak caleg gagal yang mesti diinapkan di RSJ, namun jumlahnya semakin meningkat.

Fakta sudah berbicara lebih dari cukup. Dari berbagai pemberitaan di media seluruh Indonesia, nampak jelas bahwa caleg gagal yang bermetamorfosis menjadi gila, ataupun yang sekedar berpotensi menjadi gila sudah semakin banyak. Tidak sedikit juga yang mengunjungi paranormal untuk minta petunjuk. Ini yang saya bilang sebagai political disorder. Sakit luar biasa akut yang menjadikan mereka sebetulnya tidak layak menjadi wakil Anda dan saya. Menjadi wakil kita.

Sebelum pileg dimulai, mereka acap kali mengunjungi dukun biasa serta dukun politik demi mencapai tujuan utamanya, sekali lagi bukan sebagai wakil rakyat, tapi dengan tujuan memenangi pileg DEMI DIRI SENDIRI. Saya lihat di TV, ada dukun yang pasang harga dari jutaan, miliar, bahkan 1 triliunan untuk level Presiden. Ia jamin, kalau pakai jasanya, pasti jadi sesuai yang dinginkan. Masalahnya, kalau ada 5 calon Presiden bayar 1 triliuan, apakah kemudian Indonesia akan mendapatkan 5 Presiden sekaligus? Luar biasa. Ya, luar biasa menggelikan. Apakah ada jaminan caleg-caleg model begini memang dapat berfungsi sebagai wakil kita? I don’t think so.

Nah, para caleg-caleg inilah yang ketika gagal, maka berpotensi besar menjadi gila. Implikasinya sangat kentara dan sudah tercium baunya. Apa itu? Bila gagal, maka apapun yang sudah dikeluarkan akan diupayakan untuk diambil kembali, bila perlu dengan memakai segala macam cara. Makanya saya amat sangat yakin, untuk memuluskan jalan mencapai kemenangan, mereka-mereka itu juga niscaya akan dengan senang hati menghalalkan segala cara. Tidak ada ketulusan di sana. Dan, tidak ada kemurnian untuk menjadi wakil kita. Maka kita semestinya patut berbela sungkawa sedalam-dalamnya, bila mendapatkan wakil-wakil seperti mereka itu. Kita harusnya malu. Kita mestinya kecewa.

Thursday, April 10, 2014

Media Asing Memandang Jokowi Seperti?

 Jokowi di Mata Media Asing


1395313611684973472
Setelah Jokowi resmi ditetapkan sebagai capres PDIP, namanya kembali langsung menjadi bahan pembicaraan dimana-mana. Sama seperti ketika Jokowi pertama kali tampil untuk DKI1. Mulai dari kedai kopi tingkat desa sampai café-café mentereng di ibukota mengulas tentang dirinya. Mulai dari tingkat kecamatan sampai ke dunia internasional. Nama Jokowi memang benar-benar memberi efek yang luar biasa, makanya munculah istilah Jokowi Effect

Media luar negeri juga tak mau ketinggalan mengulas tentang fenomena sosok Jokowi, dan segala kemungkinan menjelang pemilu Presiden dengan tampilnya sosok Jokowi ini. Media besar asal Amerika Serikat Washington Post umpamanya memuat sebuah tulisan yang isinya adalah mengenai ‘Jokowi Effect‘. Tulisan tersebut membahas mengenai fenomena politik di Indonesia sejak penetapan Jokowi sebagai capres oleh PDIP, tentang elektabilitasnya, dan harapan masyarakat.

Menurut Washington Post, Indonesia adalah negara yang sangat demokraris, dengan sebuah sistem yang bisa mengakodmodasi banyak partai. Sejak tahun 1999 partai di Indonesia jumlahnya tidak menentu. Partai pemenang pun tidak gampang ditentukan. Bayangkan saja, di Amerika negara yang begitu besar hanya memiliki tiga partai. Dua partai dengan kekuatan yang sangat besar serta berimbang, dan satu lagi adalah partai independen. Kita di Indonesia punya belasan partai.

Poin yang harus digarisbawahi adalah biasanya setiap partai akan menggandeng sejumlah pihak sehingga muncul kontrak tertentu yang mengikat untuk menduduki otoritas kekuasaan. Namun jika benar ‘Jokowi Effect‘ itu ada, maka PDIP tak perlu membangun kontrak politik terlalu banyak untuk memenangkan Pemilu. Ia sudah kadung disukai dan dicintai rakyat banyak. Itu kontrak tertinggi Jokowi. Ya, mengikat kontrak dengan rakyat banyak.

Di sana tertulis demikian, “Right now the big news in Indonesia is the long-anticipated announcement that Jakarta Governor Joko Widodo will enter the race for president. Widodo — universally known as “Jokowi” among Indonesians — is by some degree the most popular of the many candidates for presidency this fall, which include a series of retired generals, businesspeople, and party apparatchiks.”

Katanya pada tataran tertentu maka Jokowi adalah calon yang paling popular dibandingkan calon-calon lainnya, termasuk di dalamnya para pensiunan jendral, pengusaha, pemimpin partai politik, dan lain sebagainya.

Monday, April 7, 2014

Jokowi di Mata Sosial Media

1395401910186248918
Jejaring sosial adalah sarana ampuh dan luar biasa untuk mempromosikan barang, juga diri. Bahasa sederhana saya, melalui media sosial kitapun sebetulnya dapat ‘menjual diri’, lebih kasar lagi bahwa kita dapat ‘melacurkan diri’ untuk itu. Seperti yang dapat Anda baca di sini: http://media.kompasiana.com/new-media/2011/07/28/melacurkan-diri-untuk-personal-branding-383489.html
 
Di dunia politik misalnya, menggunakan media sosial dan segala macam bentuk jejaring sosial yang ada, sudah bukan lagi barang tabu dan bukan barang baru. Semakin hebat Anda mensosialisasikan ‘barang dagangan’ Anda, akan semakin terkenal Anda. Ini adalah keuntungan politikus yang hidup di era keemasan dunia informatika seperti saat ini. Sangat menarik untuk dibahas, bagaimana manusia mengubah pola komunikasinya melalui mediasi-mediasi teknologi. Tentunya juga, ini akan menjadi pengalaman yang amat sangat pantas didokumentasikan oleh siapapun. 

Twitter dan Facebook, selain Kompasiana, adalah dua sarana mediasi itu, dimana orang-orang dapat bertemu ‘secara maya’, bertumbuh, bercinta, berkarya, bahkan sampai mencuri, menipu dan merusak sekalipun. Dua sarana tersebut, kini juga dipakai sebagai ladang berkampanye yang murah biaya, namun besar pengaruhnya. Sebagai contoh, Prabowo memaksimalkan peran itu dengan tepat dan jitu. Dia adalah satu-satunya politisi Indonesia yang memiliki jumlah follower di FB sebegitu banyaknya (hampir 5 juta orang), dan yang kemudian masuk dalam list 5 besar politisi dunia paling banyak di-follow. Ia tentu tau betul memanfaatkan media sosial.

Di Twitter, lihat saja politisi mana yang paling banyak followernya, dan yang paling sering berkicau, tentu akan menuai banyak hits. Mereka tentu paham betul pengaruh media sosial dalam memomulerkan diri. Artinya, semakin banyak pengikutnya dan kicauan terhadap dirinya, akan semakin memomulerkan yang bersangkutan.

Di Indonesia, kita punya Kompasiana. Media yang satu ini sangat unik. Dalam bahasa saya, Kompasiana adalah gabungan antara FB, Twitter dan Kaskus. Semua akan Anda dapatkan di sini. This is the one stop station, you can get anything you want here. Bahkan, ‘menjual’ serta ‘melacurkan’ diri, di sinilah tempat yang paling tepat. Dijamin akan laku keras. Dijamin akan terkenal.